Mengembangkan Diri dengan Mempelajari Hikmah dari Pengalaman Hidup dan Mengajarkannya

Mengembangkan Diri dengan Mempelajari Hikmah dari Pengalaman Hidup dan Mengajarkannya
We are learning as we teach.......

Sabtu, September 22, 2007

Hidup di tengah masyarakat yang autis

Tipe Autisme Masyarakat

Tipe Satu : Ada orang yang nggak peduli nasehat orang lain yang bilang hidup di Jakarta itu susah, kenapa juga masih banyak orang dari luar datang berbondong-bondong ikut mengadu nasib di Jakarta. Yang orang bilang urbanisasi itu:

Pertumbuhan penduduk perkotaan di negara sedang berkembang akan berkembang pesat menjadi 2,5 – 4 persen pada tahun 2005-2010. Dampaknya, berbagai masalah social perkotaan seperti kekerasan fisik, perampasan hak atas harta, jiwa, seksual,
kekerasan dalam rumah tangga menyebabkan makin kerasnya kehidupan di kota-kota besar. Namun kebijakan mengisolasi atau menutup kota besar bagi migran dari desa atau kota kecil, bukan kebijakan efektif.
Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia, menunjukkan angka pertumbuhan arus urbanisasi cukup tinggi. Dari 19 persen proporsi urbanisasi penduduk kota pada tahun 1971, menjadi 22,7 persen pada 1980, meningkat pada 1990 menjadi 30,9 persen dan pada 2000 menjadi 42,5 persen. Saat ini diperkirakan sekitar 50 persen. “Contoh wilayah yang 100 persen perkotaan adalah DKI Jakarta,” jelasnya. Lebih lengkapnya baca beritanya disini.

Tipe Dua : Ada juga orang-orang yang saking tidak peduli pada keadaan sekitar, jadi kesannya “wah, itu orang punya nyawa berlipat kali,ya!?”. Karena kalaupun ditanya langsung ke orang yang bersangkutan, pasti dia ngga mau dibilang ‘sok jagoan’. Berarti alasan apalagi yang bisa bikin dia melakukan hal-hal yang kita bilang nekat, pasti karena Yang Maha Kuasa sangat sayang sama dia, tetapi dengan enteng dia cuma bilang “Yah, habis mau begimana lagi?”.

Tipe Tiga : Kita juga hidup ditengah orang yang memegang teguh pepatah (keblenger) yang bilang bahwa “peraturan itu dibuat untuk dilanggar”. Jadinya yang berlaku adalah Hukum Rimba dan Aturan Alam, yakni yang lebih kuat, yang lebih sangar, yang lebih duluan gertakan adalah yang menang. Sebenarnya sungguh ngga penting siapa yang menang atau kalah, karena yang penting adalah sportivitas (hehe kok ngelantur jadi olahraga?..). Karena bukankah itu yang selalu diajarkan kepada kita? Bahwa yang penting itu usaha kita, coba kalau ngga ada yang kalah.. sudah pasti ngga ada yang menang!. Kalau sudah begitu berarti Cuma ‘mau menang sendiri, dong!’, kalo begitu artinya mainnya sendirian juga dong??..dong..dong..dong....

Reality Check

Kalau kamu tinggal di Jakarta apalagi di pemukiman pinggiran Jakarta kayak Pondok Gede, pasti mengerti semua yang saya katakan barusan, dengan kata lain, ngga perlu dicontohin – kalau mau tahu, ya coba sendiri aja. Berikut saya beri daftar hal yang bakal kamu lihat sepanjang tour :

  • Kendaraan nyerempet dari kanan atau kiri, sepertinya lagi buru-buru.
  • Kendaraan keluar gang tanpa lihat kanan kiri, karena yakin banget kendaraan yang lurus bakan berhenti atau ngurangin kecepatan.
  • Angkot berhenti seenaknya di tengah jalan, bahkan nge-tem (menunggu cari penumpang sampai mobil penuh) di bawah tanda dilarang stop.
  • Orang yang mau aja diturunin/naik angkot dari tengah jalan.
  • Pejalan kaki yang berani nyebrang padahal jalanan masih ramai.
  • Penjual rokok di tengah jalan

(Dibikin) Sulit Berkomunikasi

Sebenarnya hal-hal inilah yang membuat masyarakat kita sulit untuk maju. Karena kita sulit untuk berkomunikasi dengan yang lain. Yang paling sulit adalah berkomunikasi untuk saling berbagi dan membuka wawasan, kenapa sulit? Karena masyarakat kita cenderung defensif dan tidak mau disalahkan, padahal tujuan komunikasinya adalah mencari jalan keluar terbaik atas suatu masalah. Sehingga menyebabkan bentrokan kepentingan dan lagi-lagi munculnya solusi yang dipaksakan. Seperti tarif tol yang tiba-tiba naik dan pengalihan minyak tanah ke gas tanpa sosialisasi yang benar.

Yang paling gampang adalah komunikasi basa-basi, Cuma inilah yang paling sering kita lakukan. Masyarakat kita selalu ingin diperhatikan tanpa mau mengerti masalah orang lain; ngga mau digusur padahal bikin rumah diatas tanah yang bukan miliknya. Bantuan bencana dibuang-buang karena jatahnya tidak sebanyak desa sebelahnya, padahal harusnya kita bersyukur telah diberi kesempatan, dan kalau dirasa kurang, coba komunikasikan dan beri informasi agar yang berwenang dapat memberi solusi.

Hampir sama dengan pengalaman saya saat mengajar. Dimana paling enak itu mengajarkan dasarnya/teorinya dan lalu murid mampu mengembangkan sendiri sambil kita bimbing, biasanya dengan mengerjakan soal. Tapi paling ada juga murid yang usahanya juga ngga ada, pas belajar pikirannya ngga di kelas, trus dikasi soal mau minta langsung jawabannya aja, bahkan sampai saat ujian, minta langsung dibahas saat ujian itu pula!.

Biasanya murid yang begini ini adalah yang dari awal cerewet dan manja. Jadi bukan masalah komunikasi doang, komunikasinya ada, lha wong cerewet! kok. Tetapi komunikasinya hanya satu arah, karena manja!. Tidak menghargai orang lain, hanya ingin kebutuhannya terpenuhi tanpa mau tahu pengorbanannya.

I’ve Learned Something Today...

Saya lebih suka melihat masyarakat yang saling mengisi bagai puzzle yang saling melengkapi., bukan masyarakat berantai dimana satu mata rantai putus maka terberailah rantai itu.

Satu-satunya cara agar puzzle ini lengkap adalah dengan berkomunikasi, belajar mengerti bentuk satu sama lain serta menyatukan hati dalam pikiran yang berbeda maka kita akan menjadi lebih dekat dan menjadi Satu Masyarakat yang Utuh.

(akan diupdate foto-foto heboh cueknya orang-orang Pondok Gede)

1 komentar:

Rumah Autis mengatakan...

Makasih atas inspirasinya